Jumat, 23 Desember 2011


Tugas Wawasan Sosial Budaya Bahari

WAWASAN SOSIAL BUDAYA BAHARI
PEMBANGUNAN BENUA MARITIM INDONESIA








Disusun Oleh:

Dahyar Masuku        :   K11111641





Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Hasanuddin
Makassar
2011





BAB.  I.          PENDAHULUAN
Bertepatan dengan 15 tahun Deklarasi Pembangunan Benua Maritim Indonesia yang telah diselenggarakan pada tahun 1996 lalu di Makassar, dengan menggusung tema “Laut untuk kesejahteraan rakyat”, Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia (ISOI) akan melaksanakan Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan (PIT) VIII dan Kongres VIII tanggal 25-27 September mendatang di Makassar.  ISOI yang didirikan sejak 1973 dan turut mendorong konsep pembangunan Benua Maritim Indonesia, dalam acara tersebut akan mengangkat beberapa agenda diataranya intraksi daratan, lautan dan atmosfir, Geosains kelautan dan hidro-oseanografi, mitigasi bencana kelautan dan perubahan iklim, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta kebijakan kelautan (ocean policy).

Secara filosofis, kekayaan alam pesisir dan laut beserta sumberdaya yang ada di dalamnya dikuasakan kepada negara oleh rakyat, untuk dikelola bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ini tertuang dalam aturan dasar negara (state fundamental norm) yaitu Pasal 33 Ayat (3) UUD RI 1945. Pasal ini memberikan mandat negara untuk menguasai sumber daya alam dengan tujuan kemakmuran bagi rakyat. Dengan demikian, pasal ini harus ditafsirkan bahwa bagaimana negara harus mengelola sumber daya alam laut dan pesisir sebagai sumber daya publik secara baik.

Menjadikan laut dan kelautan secara bijak sebagai salah satu resources-based economy bangsa yang merupakan salah satu komponen yg diamanahkan oleh deklarasi Benua Maritim cukup beralasan. Berbagai potensi besar sumberdaya yang tersimpan di dalamnya mengandung nilai ekonomi yang sangatnyata dan dapat dikembangkan bagi pembangunan nasional. Laut dan wilayah pesisir memiliki nilai strategis dengan berbagai keunggulan komparatif dan kompetitif sehingga berpotensi menjadi prime mover pengembangan wilayah nasional. Bahkan secara historis menunjukan bahwa wilayah pesisir ini telah berfungsi sebagai pusat kegiatan masyarakat karena berbagai keunggulan fisik dan geografis yang dimilikinya.

Keberadaan Indonesia secara gografis yang strategis, terletak di antara dua Samudera, Pasifik dan Atlantik serta diapit oleh dua benua Asia dan Afrika menjadikannya memiliki arti penting secara geopolitik dan geostrategik bagi kepentingan Nasional. Selat Malaka, Selat Sunda, dan Selat Lombok menempatkan negeri ini berada pada posisi penting dalam perdagangan, keamanan global dan mempunyai posisi kekuasaan yang kuat dalam hubungan internasional terhadap Negara-negara khususnya yang berhubungan dengan laut. Posisi geografi tersebut menjadikan Indonesia sebagai persimpangan lintas pelayaran niaga utama atau “across of the commercial shipping line” tentunya sangat berpengaruh pada politik dan ekonomi dunia. Sebagaimana sejarah membuktikannya bahwa Who command the sea, command the world, penguasaan laut sangat menentukan kekuatan dan ketahanan suatu Negara. Namun terdapat persoalan mendasar yang belum tuntas yang menyebabkan sampai saat ini posisi tawar sektor kelautan masih sangat lemah dibandingkan dengan sektor lain. Persolan tersebut tentunya menjadi pekerjaan rumah bagi kita semu. Wilayah pesisir dan laut beserta sumberdaya alamnya bagi pembangunan ekonomi bangsa Indonesia paling tidak dapat dilihat dari berbagai aspek, yaitu secara biofisik, wilayah pesisir dan laut Indonesia yang memiliki garis pantai terpanjang kedua setelah Kanada, sekitar 75% dari wilayah Indonesia merupakan wilayah perairan (58 juta km2 termasuk ZEEI). Indonesia merupakan Negara kepulauan yang berdasarkan hasil survey toponimi pulau tahun 2007 hingga tahun 2010 dan verifikasi terakhir Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) diketahui bahwa Indonesia memiliki jumlah pulau 13.466 yang menyebar dari Sabang hingga Merauke.

Selain dari itu, Indonesia juga memiliki jumlah keanekaragaman hayati terbesar kedua setelah Brasil. Bahkan, dalam hal keanekaragaman hayati laut menurut IUCN (1995), Indonesia merupakan center of biodiversity dan menempati posisi terbesar di dunia, mulai dari mangrove, padang lamun hingga terumbu karang.

Menghadapi tantangan era globalisasi persaingan bebas (Asian Free Trade Area - AFTA), sektor kelautan menjadi begitu penting artinya bagi pembangunan suatu Negara kepulauan terbesar di dunia seperti Indonesia (the largest archipelagic nation in the world). Dengan potensi sumberdaya alam laut yang luar biasa besarnya, idealnya harus membuktikan bahwa ia merupakan Negara terbaik dalam pemanfaatan dan pengelolaan potensi kepulauan yang dimilikinya. Sektor kelautan Indonesia membutuhkan perhatian kelembagaan yang serius dengan peningkatan kapasitas development actor yang professional dan memahami masalah kelautan di Indonesia yang tentunya dikawal dengan strategi penanganan komprehensif, sinergis, dan produktif yang melibatkan kerjasama berbagai sektor dan stakeholder sehingga revitalisasi berbagai kegiatan ekonomi secara simultan dan membangkitkan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru dapat segera terlaksana. Pembangunan tersebut mencakup bidang ekonomi, perhubungan, bahan pangan, lingkungan, hankam, social budaya dan hubungan politik dengan dunia luar.

Upaya revitalisasi kegiatan ekonomi kelautan perlu difokuskan pada pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi (knowledge based economics), penganggaran, penanganan wilayah perairan, khususnya dalam pengelolaan potensi laut. Selain dari itu, wawasan kelautan yang terintegrasi pada elemen-elemen pemerintahan, terutama pada dinas-dinas yang berhubungan langsung dengan sektor pesisir dan kelautan maupun dinas-dinas pemerintahan pada umumnya, juga harus ditingkatkan. Dengan wawasan kelautan yang terintegrasi, maka kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan atau setiap langkah dalam pengambilan keputusan akan selalu merujuk pada konsep yang berbasis kemaritiman.

Tentunya dalam mengawal proses pembangunan tersebut dibutuhkan adanya payung hukum berupa Kebijakan Kelautan Nasional (National Ocean Policy) yang komprehensif dan harus berbasis riset dan iptek (Research Based Ocean Policy). Selain dari itu perlunya menyiapkan roadmap penggunaan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati kelautan yang didedikasikan untuk kepentingan nasional dan bermuara pada peningkatan kesejahteraan rakyat dalam Kebijakan Ekonomi Kelautan Nasional (National Ocean Economic Policy); serta perlunya tata kelola kelautan yang baik (Ocean Governance) sebagai panduan atau code of conduct dalam pengelolaan kelautan secara holistic sesuai dengan harapan dan agenda besar Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam mewujudkan negara yang kuat, maju dan mandiri di bidang kelautan.









BAB. II           WAWASAN NUSANTARA

A.          Wawasan nusantara

Wawasan nusantara adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan bentuk geografinya berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 Dalam pelaksanannya, wawasan nusantara mengutamakan kesatuan wilayah dan menghargai kebhinekaan untuk mencapai tujuan nasional.

B.           Visi Maritim

Ketika Republik Indonesia diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945, wilayah negara adalah tinggalan Hindia Belanda, dan belum menjadi negara kepulauan. Menurut Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie 1939, maka batas laut teritorial Indonesia adalah 3 mil laut dari pantai.
Dengan demikian maka perairan antar pulau pada waktu itu adalah wilayah internasional. Wilayah laut kita dengan rezim hukum laut seperti disebut di atas hanyalah seluas kira-kira 100.000 km2. Secara fisik pulau-pulau Indonesia dipisahkan oleh laut, walaupun secara kultur konsep kewilayahan kita tidak membedakan penguasaan antara laut dan darat. Bangsa Indonesia adalah satu-satunya bangsa di dunia yang menamakan wilayahnya sebagai tanah air. Pada tanggal 13 Desember 1957 Pemerintah RI melalui deklarasi Perdana Menteri Ir. Djuanda mengklaim seluruh perairan antar pulau di Indonesia sebagai wilayah nasional. Deklarasi di atas yang kemudian dikenal sebagai Deklarasi Djuanda, adalah pernyataan jati diri sebagai negara kepulauan, di mana laut menjadi penghubung antar pulau, bukan pemisah. Klaim ini bersamaan dengan upaya memperpanjang batas laut territorial menjadi 12 mil dari pantai, kemudian diperjuangkan oleh Indonesia untuk mendapat pengakuan internasional di PBB, suatu perjuangan panjang yang meliwati 3 rezim politik yang berbeda yaitu Demokrasi Liberal, Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru.
Kendati prinsip negara kepulauan mendapat tentangan dari negara-negara besar seperti Amerika Serikat, akhirnya pada tahun 1982 lahirlah Konvensi kedua PBB tentang Hukum Laut (2nd United Nations Convention on the Law of the Sea, disingkat UNCLOS) yang mengakui konsep negara kepulauan, sekaligus juga mengakui konsep Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang diperjuangkan oleh Chili dan negara-negara Amerika Latin lainnya.

Setelah diratifikasi oleh 60 negara maka UNCLOS kemudian resmi berlaku pada tahun 1994. Berkat perjuangan yang gigih dan memakan waktu, Indonesia mendapat pengakuan dunia atas tambahan wilayah nasional sebesar 3,1 juta km2 wilayah perairan dari hanya 100.000 km2 warisan Hindia Belanda, ditambah dengan 2,7 juta km2 Zone Ekonomi Eksklusif yaitu bagian perairan internasional dimana Indonesia mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber daya alam termasuk yang ada di dasar laut dan di bawahnya.
Konsep Negara Kepulauan (Nusantara) memberikan kita anugerah yang luar biasa. Letak geografis kita strategis, di antara dua benua dan dua samudra dimana paling tidak 70% angkutan barang melalui laut dari Eropa, Timur Tengah dan Asia Selatan ke wilayah Pasifik, dan sebaliknya, harus melalui perairan kita. Wilayah laut yang demikian luas dengan 17.500-an pulau-pulau yang mayoritas kecil memberikan akses pada sumber daya alam seperti ikan, terumbu karang dengan kekayaan biologi yang bernilai ekonomi tinggi, wilayah wisata bahari, sumber energi terbarukan maupun minyak dan gas bumi, mineral langka dan juga media perhubungan antar pulau yang sangat ekonomis.Panjang pantai 81.000 km (kedua terpanjang di dunia setelah Canada ) merupakan wilayah pesisir dengan ekosistem yang secara biologis sangat kaya dengan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Secara metereologis, perairan nusantara menyimpan berbagai data metrologi maritim yang amat vital dalam menentukan tingkat akurasi perkiraan iklim global. Di perairan kita terdapat gejala alam yang dinamakan Arus Laut Indonesia (Arlindo) atau the Indonesian throughflow yaitu arus laut besar yang permanen masuk ke perairan Nusantara dari samudra Pasifik yang mempunyai pengaruh besar pada pola migrasi ikan pelagis dan pembiakannya dan juga pengaruh besar pada iklim benua Australia.
Sayangnya keuntungan yang luar biasa di atas sebagai konsekuensi jati diri bangsa nusantara tidak disertai dengan kesadaran dan kapasitas yang sepadan. Bangsa Indonesia masih mengidap kerancuan identitas. Di satu pihak mempunyai persepsi kewilayahan tanah air, tetapi memposisikan diri secara kultural sebagai bangsa agraris dengan puluhan juta petani miskin yang tidak sanggup kita sejahterakan, sedangkan kegiatan industri modern sulit berkompetisi dengan bangsa lain, antara lain karena budaya kerja yang berkultur agrarian konservatif, disamping berbagai inefisiensi birokrasi dan korupsi.
Industri pun kita bangun tidak berdasar pada keunggulan kompetitif namun pada keunggulan komparatif, tanpa kedalaman struktur dan tanpa masukan keilmuan dan teknologi yang kuat. Tradisi kepelautan kita dinyatakan dengan kemampuan melayari Samudra Pasifik dengan kapal Pinisi Nusantara dan selamat sampai Vancouver, tapi kapal yang sama pecah dan tenggelam menabrak karang di Kepulauan Seribu dalam perjalanan lokal yang sederhana.
Di zaman Bung Karno Angkatan Laut kita pernah menjadi keempat terbesar di dunia setelah Amerika Serikat, Uni Soviet dan Iran. Tetapi kekuatan itu tidak riel dan hanya temporer karena tidak dibangun atas kemampuan sendiri, namun karena bantuan Uni Soviet dalam kerangka permainan geopolitik.
Selama itu, berbagai rencana di bidang kelautan dan kemaritiman dibuat dan dideklarasikan namun kelembagaan kelautan, pembangunan perekonomian maritim dan pembangunan sumber daya manusia tidak pernah dijadikan arus utama pembangunan nasional, yang didominasi oleh persepsi dan kepentingan daratan semata. Dewan Kelautan Nasional memang dibuat tetapi dengan mandat terbatas dan menduduki hirarki yang tidak signifikan dalam kelembagaan pemerintahan.
Segala paradoks tadi terus menerus memunculkan gugatan demi gugatan yang makin nyaring dari masyarakat kelautan kita yang kemudian menciptakan kelembagaan berupa Departemen Kelautan dan Perikanan pada tahun 1999 dan juga Dewan Maritim Indonesia pada tahun yang sama, dengan ruang lingkup tugas yang lebih luas dibandingkan dengan Dewan Kelautan Nasional di zaman Orde Baru.
Mudah-mudahan era presidensi Susilo Bambang Yudhoyono merupakan titik balik menentukan dalam kehidupan maritim kita. Melalui Inpres 5 tahun 2005 “asas cabotage” dihidupkan kembali. “asas cabotage” adalah prinsip hukum yang dianut oleh sebagian besar negara maritim dunia yang menyatakan bahwa angkutan di dalam suatu negara hanya dapat diangkut oleh kapal yang berbendera dari negara yang bersangkutan Demikian juga otoritas moneter telah menetapkan kapal sebagai benda yang boleh diagunkan. Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) sedang dalam penyusunan termasuk visi maritim didalamnya, seiring dengan langkah-langkah konkrit lanjutan menyangkut industri strategis dan kelembagaan pelabuhan.Perlu diterangkan bahwa antara istilah kelautan dan maritim harus dibedakan. Kelautan merujuk kepada laut sebagai wilayah geopolitik maupun wilayah sumber daya alam, sedangkan maritim merujuk pada kegiatan ekonomi yang terkait dengan perkapalan, baik armada niaga maupun militer, serta kegiatan ekonomi yang berhubungan dengan itu seperti industri maritim dan pelabuhan. Dengan demikian kebijakan kelautan merupakan dasar bagi kebijakan maritim sebagai aspek aplikatifnya. Terlepas dari rumusan final visi maritim Indonesia, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan. Antara lain :
pertama, negara perlu mempunyai kebijakan kelautan yang jelas dan bervisi ke depan karena menyangkut geopolitik bangsa dan dengan demikian berwawasan global dan menyangkut pula kebijakan-kebijakan dasar tentang pengelolaan sumber daya alam di samping sumber daya ekonomi pada umumnya. Demi daya saing bangsa kita perlu berangkat dari keunggulan kompetitif yang bisa berbasis lokal.
Kedua, kebijakan kelautan adalah kebijakan negara kepulauan sehingga variabel keruangan harus lengkap, tidak hanya monodimensional laut. Konsep tri-matra (darat-laut-udara), karena kemajuan ilmu dan teknologi serta peningkatan kesadaran lingkungan hidup menjadi tidak lengkap untuk sekarang dan masa depan. Yang lebih mengena adalah variabel multi-matra (darat termasuk pegunungan; permukaan air dari mata air di hulu sampai permukaan laut; kolom air di sungai, danau maupun laut; pesisir; dasar laut; bawah dasar laut; atmosfir; stratosfir dan angkasa luar), jumlahnya 9 matra. Sejak Presiden Soeharto meluncurkan satelit Palapa pada dekade 1970-an sebenarnya kita telah masuk ke era ruang angkasa, tidak sekedar tri-matra, demikian juga sekarang ketika kita mulai merentang kabel telekomunikasi bawah laut, masuk ke matra dasar laut.
 Tetapi tetap saja kita menggunakan tri-matra sebagai acuan keruangan, mungkin karena terlanjur menjadi manusia penghafal. Sesuai kemampuan untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan publik yang lebih kompleks, serta kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi tentunya variabel keruangan bisa dikembangkan. Dengan demikian kebijakan kelautan bukanlah pengganti kebijakan masa lampau yang terkesan kuat dominan berorientasi daratan.
Ketiga, hirarki ruang juga perlu ditentukan, yaitu ruang di mana kita berdaulat penuh, ruang di mana kita punya hak berdaulat, dan ruang di mana kita perlu punya pengaruh baik eksklusif maupun melalui kerjasama politik, ekonomi dan pertahanan.

Keempat, pemerintah perlu menuntaskan seluruh kewajiban yang tercantum dalam UNCLOS, karena penting artinya bagi effektifitas kedaulatan kita. Adalah ironis bahwa Indonesia sebagai pelopor konsep negara kepulauan lantas nantinya tertinggal dalam pengamanan kedaulatan wilayahnya. Sekiranya hal ini terjadi maka posisi kita secara geopolitik akan lemah, serta memicu berbagai sengketa di wilayah laut yang sulit kita atasi, apalagi dengan kekuatan militer maritim yang demikian kecil. Peristiwa Sipadan/Ligitan dan peristiwa Ambalat merupakan peringatan dini terhadap kemungkinan masalah lebih besar di kemudian hari.
Kelima, kalau semua hal di atas sudah jelas arahnya, maka visi maritim dapat dibangun dan kekuatan maritim dapat dibangkitkan sepadan dengan tuntutan geopolitik bangsa dan sesuai dengan persepsi keruangan kita dan juga persepsi tentang keunggulan kompetitif baik yang berbasis sumber daya alam, budaya, ilmu pengetahuan maupun geografi. Kebijakan perkapalan, pelabuhan, transportasi antar matra, prioritas kegiatan ekonomi, pembangunan angkatan bersenjata (militer dan polisi), kebijakan fiskal, kebijakan investasi, kebijakan enersi, kebijakan dirgantara, kebijakan pembangunan daerah dan kawasan serta tatanan kelembagaan dan kebijakan pembangunan sumber daya manusia merupakan turunan dari visi maritim dan visi maritim juga adalah turunan dari kebijakan kelautan.
Setelah semua itu selesai dan dirumuskan secara baik, kita mempunyai soal berikut, yaitu mewujudkannya dalam implementasi. Banyak hal yang mempengaruhi implementasi visi dan kebijakan maritim namun akar masalahnya berada dalam budaya agraris tradisional yang kita warisi. Masyarakat agraris tradisional di pedalaman cenderung statis, introvert dan feodal. Berlainan dengan budaya pesisir yang lebih terbuka dan egaliter serta biasa memanfatkan pengaruh luar karena interaksi niaga antar bangsa. Komunitas pesisir menjadi lemah di masa lampau karena tidak adanya persepsi bersama menghadapi merkantilisme Eropa sehingga kerajaan-kerajaan pesisir hancur ditaklukkan, menghadapi tekanan dari kolonialisme dan juga serangan dari pedalaman.
Dengan demikian budaya yang dominan adalah budaya agraris tradisional, yang antara lain ditandai sampai sekarang oleh kebiasaan mayoritas anak-anak menggambar gunung, sawah dan matahari dan nyaris tidak penah menggambar pemandangan pantai dan laut.
Mentalitas yang demikian tercermin pada orientasi pendidikan kita, yang cenderung melatih orang untuk menghafal (statis), dengan ketaatan di luar batas pada guru (feodal) dan kebiasaan guru untuk tidak terbuka dan tidak murah hati dalam mentransfer ilmu (introvert). Dengan kultur demikian sulit bagi bangsa kita untuk berubah maju atas kehendak sendiri. Perubahan selalu terjadi karena pengaruh eksternal yang tak tertahankan. Seringkali yang ditiru hanyalah tampak luarnya bukan esensinya.
Visi dan program maritim hanya bisa sukses secara berkelanjutan jika terdapat basis kultur yang terbuka, egaliter, haus pengetahuan dan menyukai tantangan perubahan. Pada jangka pendeknya program maritim bisa berjalan dengan merekrut kalangan pengambil keputusan dan para pelaku utama dari kalangan yang mempunyai kultur itu. Bisa juga dengan mengundang investasi asing dari pihak yang lebih maju dalam hal di mana tidak terdapat kemampuan modal dan pengetahuan dalam bidang-bidang tertentu.

Tetapi pada jangka panjangnya yang diperlukan adalah perubahan orientasi pendidikan, ke arah rasionalitas ilmu pengetahuan dan teknologi, kesadaran akan sumber-sumber keunggulan kompetitif, kepekaaan budaya, kedalaman budi pekerti dan penanaman sifat menyikapi tantangan perubahan secara positif. Untuk menggambarkan betapa kita tidak siap menanggapi perubahan adalah tiadanya antisipasi terhadap kemungkinan rencana Thailand untuk membuat kanal di semenanjung Kra, yang pembangunannya bisa selesai kurang dari 10 tahun. Sekarang Thailand sedang berpikir keras apakah mereka akan melanjutkan rencana tersebut. Sekiranya mereka membuatnya, adanya kanal tersebut tentu amat mengurangi volume transportasi laut yang melalui perairan nusantara.
Sepintas lalu Singapura akan terpukul. Tetapi jangan lupa bahwa Singapura selalu merencanakan dirinya berada di depan peristiwa. Mereka tidak perlu hanya mempertahankan keunggulannya sebagai pusat pelayanan perhubungan laut. Mereka berencana menjadikan Singapura sebagai pusat budaya dan pusat jasa bernilai tinggi sehingga corak ekonominya akan lebih canggih dan kehidupannya lebih menarik, bukan seperti Singapura sekarang yang amat tertib, effisien tapi membosankan.
Menteri Luar Negeri Singapura di masa lalu, Rajaratnam pernah mengatakan bahwa “Kami di Singapura harus selalu berusaha maju setengah langkah melebihi negara-negara tetangga kami'” Para ahli geografi ekonomi dapat memperkirakan ke arah mana pusat pertumbuhan ekonomi regional Pasifik bergerak sekiranya kanal Kra menjadi kenyataan, tapi rasanya tidak pernah terdengar apakah kita mempunyai skenario tertentu.
Pembangunan kanal Kra belum tentu merugikan Indonesia selama kita membangun kekuatan ekonomi maritim sejalan dengan dinamika perubahan. Sekiranya kita pintar menjalin interdependensi ekonomi antar wilayah dan selama kita lebih tergantung satu sama lain di antara kita, lebih kuat dari ketergantungan eksternal, maka keutuhan bangsa dan negara akan senantiasa terjamin.
Dengan kekayaan sumber daya alam yang juga sekaligus unik, sekiranya kita punya komitmen kuat untuk membangun ekonomi berdaya saing, kita bisa menciptakan pasaran dalam negeri yang besar dengan jumlah orang yang nantinya melebihi 250 juta, serta masih punya peluang berperan dalam ekonomi global. Masalahnya, sudahkah kita berpikir dan bergerak ke sana? Indonesia berada ditengah kehadiran negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Australia, India dan Cina yang walaupun bukan negara kepulauan, namun sudah punya visi dan kebijakan maritim, serta negara kecil seperti Singapura yang akan meraup keuntungan ekonomi dari perkembangan itu, dan Thailand yang juga melakukan hal yang sama.
Jadi apa yang menjadi masalah bagi visi maritim Indonesia? Masalahnya adalah bahwa kita harus menuntaskan jati diri bangsa sebagai penghuni negara kepulauan, dan perlu mempunyai visi dan strategi yang cerdas dan kreatif untuk keluar dari paradigma agraris tradisional ke arah paradigma maritim yang rasional dan berwawasan global. Bukan karena ingin menjadi negara superpower tetapi demi kesejahteraan rakyat dan harga diri serta keamanan bangsa.
Bukan beralih ke laut karena sudah terlalu banyak problem di darat seperti pengurasan sumber daya alam dan involusi pertanian, namun karena ingin mengintegrasikan sumber daya terestial dengan sumber daya perairan untuk mencapai nilai ekonomi tertinggi.

C.                Aspek kewilayahan nusantara

Pengaruh geografi merupakan suatu fenomena yang perlu diperhitungkan, karena Indonesia kaya akan aneka Sumber Daya Alam (SDA) dan suku bangsa.

D.                Aspek sosial budaya

Indonesia terdiri atas ratusan suku bangsa yang masing-masing memiliki adat istiadat, bahasa, agama, dan kepercayaan yang berbeda - beda, sehingga tata kehidupan nasional yang berhubungan dengan interaksi antargolongan mengandung potensi konflik yang besar.

E.                 Aspek sejarah

Indonesia diwarnai oleh pengalaman sejarah yang tidak menghendaki terulangnya perpecahan dalam lingkungan bangsa dan negara Indonesia. Hal ini dikarenakan kemerdekaan yang telah diraih oleh bangsa Indonesia merupakan hasil dari semangat persatuan dan kesatuan yang sangat tinggi bangsa Indonesia sendiri. Jadi, semangat ini harus tetap dipertahankan untuk persatuan bangsa dan menjaga wilayah kesatuan Indonesia.

F.                 Fungsi

Gambaran dari isi Deklarasi Djuanda
  1. Wawasan nusantara sebagai konsepsi ketahanan nasional, yaitu wawasan nusantara dijadikan konsep dalam pembangunan nasional, pertahanan keamanan, dan kewilayahan.[3]
  2. Wawasan nusantara sebagai wawasan pembangunan mempunyai cakupan kesatuan politik, kesatuan ekonomi, kesatuan sosial dan ekonomi, kesatuan sosial dan politik, dan kesatuan pertahanan dan keamanan.
  3. Wawasan nusantara sebagai wawasan pertahanan dan keamanan negara merupakan pandangan geopolitik Indonesia dalam lingkup tanah air Indonesia sebagai satu kesatuan yang meliputi seluruh wilayah dan segenap kekuatan negara. Wawasan nusantara sebagai wawasan kewilayahan, sehingga berfungsi dalam pembatasan negara, agar tidak terjadi sengketa dengan negara tetangga.  Batasan dan tantangan negara Republik Indonesia adalah:
  1. Cara penarikan batas laut wilayah tidak lagi berdasarkan garis pasang surut (low water line), tetapi pada sistem penarikan garis lurus (straight base line) yang diukur dari garis yang menghubungkan titik - titik ujung yang terluar dari pulau-pulau yang termasuk dalam wilayah RI.
  2. Penentuan wilayah lebar laut dari 3 mil laut menjadi 12 mil laut.
  3. Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) sebagai rezim Hukum Internasional, di mana batasan nusantara 200 mil yang diukur dari garis pangkal wilayah laut Indonesia. Dengan adanya Deklarasi Juanda, secara yuridis formal, Indonesia menjadi utuh dan tidak terpecah lagi.

G.                Tujuan

Tujuan wawasan nusantara terdiri dari dua, yaitu :
  1. Tujuan nasional, dapat dilihat dalam Pembukaan UUD 1945, dijelaskan bahwa tujuan kemerdekaan Indonesia adalah "untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial".
  2. Tujuan ke dalam adalah mewujudkan kesatuan segenap aspek kehidupan baik alamiah maupun sosial, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan bangsa Indonesia adalah menjunjung tinggi kepentingan nasional, serta kepentingan kawasan untuk menyelenggarakan dan membina kesejahteraan, kedamaian dan budi luhur serta martabat manusia di seluruh dunia.

 

H.                Implementasi Kehidupan politik

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengimplementasikan wawasan nusantara, yaitu:
  1. Pelaksanaan kehidupan politik yang diatur dalam undang-undang, seperti UU Partai Politik, UU Pemilihan Umum, dan UU Pemilihan Presiden. Pelaksanaan undang-undang tersebut harus sesuai hukum dan mementingkan persatuan bangsa.Contohnya seperti dalam pemilihan presiden, anggota DPR, dan kepala daerah harus menjalankan prinsip demokratis dan keadilan, sehingga tidak menghancurkan persatuan dan kesatuan bangsa.
  2. Pelaksanaan kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Indonesia harus sesuai denga hukum yang berlaku. Seluruh bangsa Indonesia harus mempunyai dasar hukum yang sama bagi setiap warga negara, tanpa pengecualian. Di Indonesia terdapat banyak produk hukum yang dapat diterbitkan oleh provinsi dan kabupaten dalam bentuk peraturan daerah (perda) yang tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku secara nasional.
  3. Mengembagkan sikap hak asasi manusia dan sikap pluralisme untuk mempersatukan berbagai suku, agama, dan bahasa yamg berbeda, sehingga menumbuhkan sikap toleransi.
  4. Memperkuat komitmen politik terhadap partai politik dan lembaga pemerintahan untuk menigkatkan semangat kebangsaan dan kesatuan.
  5. Meningkatkan peran Indonesia dalam kancah internasional dan memperkuat korps diplomatik ebagai upaya penjagaan wilayah Indonesia terutama pulau-pulau terluar dan pulau kosong.

I.                   Kehidupan ekonomi

  1. Wilayah nusantara mempunyai potensi ekonomi yang tinggi, seperti posisi khatulistiwa, wilayah laut yang luas, hutan tropis yang besar, hasil tambang dan minyak yang besar, serta memeliki penduduk dalam jumlah cukup besar. Oleh karena itu, implementasi dalam kehidupan ekonomi harus berorientasi pada sektor pemerintahan, pertanian, dan perindustrian.
  2. Pembangunan ekonomi harus memperhatikan keadilan dan keseimbangan antardaerah. Oleh sebab itu, dengan adanya otonomi daerah dapat menciptakan upaya dalam keadilan ekonomi.
  3. Pembangunan ekonomi harus melibatkan partisipasi rakyat, seperti dengan memberikan fasilitas kredit mikro dalam pengembangan usaha kecil.

 

J.                  Kehidupan sosial

Tari pendet dari Bali merupakan budaya Indonesia yang harus dilestarikan sebagai implementasi dalam kehidupan sosial.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kehidupan sosial, yaitu :
  1. Mengembangkan kehidupan bangsa yang serasi antara masyarakat yang berbeda, dari segi budaya, status sosial, maupun daerah. Contohnya dengan pemerataan pendidikan di semua daerah dan program wajib belajar harus diprioritaskan bagi daerah tertinggal.
  2. Pengembangan budaya Indonesia, untuk melestarikan kekayaan Indonesia, serta dapat dijadikan kegiatan pariwisata yang memberikan sumber pendapatan nasional maupun daerah. Contohnya dengan pelestarian budaya, pengembangan museum, dan cagar budaya.

K.                Kehidupan pertahanan dan keamanan

Membagun TNI Profesional merupakan implementasi dalam kehidupan pertahanan keamanan.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kehidupan pertahanan dan keamanan, yaitu :
  1. Kegiatan pembangunan pertahanan dan keamanan harus memberikan kesempatan kepada setiap warga negara untuk berperan aktif, karena kegiatan tersebut merupakan kewajiban setiap warga negara, seperti memelihara lingkungan tempat tinggal, meningkatkan kemampuan disiplin, melaporkan hal-hal yang menganggu keamanan kepada aparat dan belajar kemiliteran.


  1. Membangun rasa persatuan, sehingga ancaman suatu daerah atau pulau juga menjadi ancaman bagi daerah lain. Rasa persatuan ini dapat diciptakan dengan membangun solidaritas dan hubungan erat antara warga negara yang berbeda daerah dengan kekuatan keamanan.
  2. Membangun TNI yang profesional serta menyediakan sarana dan prasarana yang memadai bagi kegiatan pengamanan wilayah Indonesia, terutama pulau dan wilayah terluar Indonesia.

L.                 Paham kekuasaan Indonesia
Bangsa Indonesia yang berfalsafah dan berideologi Pancasila menganut paham tentang perang dan damai berdasarkan : “Bangsa Indonesia cinta damai, akan tetapi lebih cinta kemerdekaan”. Dengan demikian wawasan nasional bangsa Indonesia tidak mengembangkan ajaran kekuasaan dan adu kekuatan karena hal tersebut mengandung persengketaan dan ekspansionisme. Bangsa Indonesia yang berfalsafah & berideologi Pancasila menganut paham : tentang perang dan damai berupa, Bangsa Indonesia cinta damai, akan tetapi lebih cinta kemerdekaan.




BAB. III.        Batas Wilayah Indonesia

A.                   Pada Saat Proklamasi

Wilayah Indonesia Pada Saat Proklamasi 17 Agustus 1945. Masih berlaku TERRITORIALE ZEE EN MARITIEME KRINGEN ORDONANTIE TAHUN 1939. Dimana lebar laut wilayah Indonesia adalah 3 mil diukur dari garis air rendah dari masing-masing pulau Indonesia. Penetapan lebar wilayah laut 3 mil ini, tidak menjamin kesatuan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (bila dihadapkan dengan pergolakkan-pergolakkan yang terjadi di dalam negeri dan lingkungan keadaan alam).

B.                    Deklarasi Djuanda
Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957. Yang menyatakan tentang penentuan batas lautan teritorial (yang lebarnya 12 mil) diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung yang terluar pada pulau-pulau negara Indonesia.Maka sejak itu berubahlah luas wilayah Indonesia dari:
-      Kurang lebih 2 juta km persegi menjadi 5 juta km persegi
-      Dimana kurang lebih 65 % wilayahnya terdiri dari laut atau perairan (negara maritim), dan 35 % adalah daratan. Terdiri dari 17.508 buah pulau dengan 5 (lima) buah pulau besar : Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya dan 11.808 pulau-pulau kecil yang belum diberi nama.
-      Dengan luas daratan : kurang lebih 2.028.087 km persegi.
-      Dengan panjang pantai : kurang lebih 81.000 km persegi.
-      Topografi daratannya : merupkan pegunungan dengan gunung-gunung berapi, baik yang masih aktif maupun yang sudah tidak aktif.

Jadi pengertian Nusantara adalah kepulauan indonesia yang terdiri dari 17.508 pulau-pulau baik pulau besar dan pulau kecil dan diantara batas-batas astronomis sebagai berikut :
-      Utara : 06o 08o lintang utara
-      Selatan : 11o 15o lintang selatan
-      Barat : 94o 45o bujur barat
-      Timur : 141o 05o derajad bujur timur



Dengan jarak Utara – Selatan : kurang lebih 1.888 km persegi.
Jarak antara Barat – Timur : kurang lebih 5.110 km persegi.

UNCLOS 1982 Konferensi PBB tentang Hukum Laut Internasional yang ke-3 Tahun 1982. Melalui konferensi tersebut maka pokok-pokok asas negara kepulauan diakui dan dicantumkan dalam UNCLOS 1982(United Nation Convention On The Law Of The Sea). Indonesia meratifikasi UNCLOS 1982 melalui Undang Undang No. 17 th 1985 pada tanggal 13 desember 1985.
Berlakunya UNCLOS 1982, akan berpengaruh dalam upaya pemanfaatan laut bagi kepentingan kesejahteraan seperti , bertambah luasnya Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Landas Kontinen Indonesia (200 mil). UNCLOC 1982 memberikan keuntungan bagi pembangunan nasional:



-      Bertambah luasnya perairan yuridiksi nasional berikut kekayaan alam yang terkandung dilaut dan dasar lautnya, serta terbukanya peluang untuk memanfaatkan laut sebagai medium transportasi namun dari segi kerawanan juga bertambah.
-      Perjuangan Indonesia selanjutnya menegakkan kedaulatan dirgantara terutama dalam rangka memanfaatkan wilayah Geo Stationery Orbit (GSO) yang dapat dijadikan wilayah kepentingan ekonomi maupun pertahanan dan keamanan negara dan bangsa Indonesia

Kebijakan Benua Maritim Indonesia Halmar Halide Guru Besar Hidrometeorologi, FMIPA Universitas Hasanudin Makassar
LIMA belas tahun yang lalu, kita pernah berkumpul di Hotel Sahid
Makassar pada acara Konvensi Nasional Pembangunan Benua Maritim
Indonesia (BMI) dalam rangka mengaktualisasikan wawasan Nusantara.
Konvensi tersebut dirangkaikan pula dengan presentasi makalah oleh para
ilmuwan dan pemerhati kelautan dalam kegiatan Semar (Seminar Maritim)
1996. Pada 2011, tetap di hotel yang sama, kita kembali berkumpul dan
berseminar, tapi tentu dalam situasi yang mungkin belum kita jumpai pada
belasan tahun yang silam itu.
Saat ini kita telah akrab dengan berbagai topik hulu (upstream) hingga
hilir (downstream) yang mencakup:
1)        berkurangnya daya dukung tanah, resapan air, dan absorpsi karbon akibat maraknya penebangan liar serta penggundulan hutan-–masing-masing hal ini berimplikasi pada peningkatan insiden tanah longsor (landslide), berkurangnya sumber air tawar, dan makin menumpuknya emisi gas rumah kaca sebagai pemicu pemanasan global menurut paham seke lompok orang (baca: alarmist);
2)        meningkatnya laju konsumsi bahan bakar fosil untuk transportasi dan industri, jika  dibandingkan dengan laju penemuan sumber-sumber energi alternatif dan terbarukan--hal ini suatu waktu dapat memicu krisis energi;
3)        semakin kerapnya gagal panen dan epidemi penyakit yang dikaitkan dengan perubahan iklim;
4)        meningkatnya abrasi pantai dan infiltrasi air laut akibat reklamasi dan konversi hutan bakau;
5)        menurun nya kualitas perairan akibat aktivitas budi daya laut intensif yang melampaui carrying capacity-nya dan menurunnya keragaman biota laut akibat pencemaran maupuneksploitasi berlebih; hingga
6)        meningkatnya sengketa perbatasan maritim dengan negara-negara jiran.
Ulasan berikut ini akan membahas konsep kebijakan dalam menghadapi
berbagai bentuk tantangan dan salah satu bentuk implementasi BMI dalam kegiatan budi daya laut berkelanjutan. Konsep kebijakan BMI, Bhinneka Tunggal Ika Setiap unsur/komponen  ekosistem penyusun BMI (darat, laut, dan atmosfer) itu unik, namun mere  ka tetap terhubung (interkoneksitas) secara fungsional. Lemahnya satu komponen akan mengganggu dan melemahkan kinerja komponen  lainnya, yang pada akhirnya akan me lemahkan keseluruhan BMI. Begitu pula sebaliknya.Konsep semacam ini sebenarnya telah ada pada komunitas Wai'anae di  daerah Hawaii yang dikenal sebagai Ahupua'a


Konsep tersebut diajukan untuk menghadapi persoalan men yusutnya  populasi anae (mullet: ikan belanak) akibat perubahan habitat laut dan
pesisirnya. Sumber perubahan habitat ini ialah hilangnya hutan dan
pengalihan aliran sungai untuk memasok indus tri gula.
Mari kita melihat salah satu kriteria, yakni hidrometeorologi. Hidrometeorologi ini memiliki sejumlah subkriteria. Salah satunya arus laut. Sebagaimana diketahui, selain berperan untuk agen sirkulasi oksigen, arus laut berfungsi sebagai penyebar pakan ikan residu (yang terbuang dari KJA) un tuk mengu rangi terjadinya penum pukan limbah pakan (organik) pada sedi men di dasar laut KJA. Hal ini akan me ngurangi pencemaran sedimen pada dasar keramba.
Pencemaran pada sedimen dasar laut sangat tidak diinginkan karena akan meningkatkan risiko hipoksia (berkurangnya konsentrasi oksigen terlarut) bagi ikan KJA. Tingkat stres mereka juga akan naik akibat meningkatnya perilaku  kompensasi untuk mengatasi keadaan hipoksia tersebut (Martinez, 2011). Selain itu, adanya akumulasi limbah organik akan mendorong pembentukan sulfida d dasar laut yang akan mengusir d biota dasar laut. Konsekuensinya, menurunnya keragaman hayati (Tomassetti, 2005).
Subkriteria hidrometeorologi lainnya adalah angin. Angin merupakan salah
satu agen yang membangkitkan arus laut dan gelombang. Walaupun arus dan gelombang laut ini sangat dibutuhkan untuk memasok oksigen KJA dan proses penyebaran residu pakan, magnitudo mereka jangan sampai melebihi suatu batas tertentu agar kehadiran arus dan ombak tak memorakporandakan struktur KJA dan melepaskan ikan budi daya pada KJA.Subkriteria hidro meteorologi selanjut nya, kekuatan tiupan angin yang akan mem bangkitkan arus laut dan gelombang. Walaupun arus dan gelombang laut dibutuhkan sebagai pemasok oksigen KJA dan proses penyebaran residu pakan, magnitu do mereka pun tidak boleh me lebihi suatu batas tertentu agar ke hadiran arus dan ombak tak sampai memorak-porandakan struktur KJA dan melepaskan ikan budi daya pada KJA. Hal itu pernah dialami KJA Marine Harvest pada 2006 di Port Hurd, Australia
Bagaimana mengaitkan keadaan hilir (laut) dan hulu (pegunungan) pada
kasus KJA sebagai esensi konsep BMI? Kaitan itu bisa segera terlihat
melalui subkriteria hidrometeorologi lainnya yang disebut kekeruhan perairan Faktor kekeruhan perairan ini berkaitan dengan proses yang terjadi pada bagian hulu (mulai pegunungan hingga buangan tambak udang di daerah  pesisir). Konsentrasi sedimen terlarut sangat bergantung pada kondisi  vegetasi/hutan di bagian hulu. Berkurangnya vegetasi menyebabkan berkurangnya resistensi aliran arus sungai sehingga sungai menjadi lebih
energik dan menggerus apa saja yang dilaluinya, mengangkut bahan  (sedimen) gerusan tersebut, dan akhirnya membuangnya ke laut.
Kehadiran sedimen ini akan menaikkan kekeruhan air laut yang ditandai
penurunan nilai detektor kekeruhan Secchi Disk. Meningkatnya kekeruhan  akan berdampak tidak saja pada berkurangnya penetrasi cahaya matahari  yang penting untuk proses fotosintesis fi toplankton, tetapi juga pada tersumbatnya insang dan terganggunya sistem pernapasan ikan KJA serta meningkatnya stres pada ikan KJA (Rodger dkk, 2010).
Uraian tersebut menunjukkan betapa pentingnya peran pemerintah dalam  merancang regulasi/peraturan agar tetap tercipta harmoni antarkomponen  BMI yang unik dari pegunungan hingga perairan/ laut. Itulah mungkin  keindahan peribahasa kita, yakni 'asam di gunung, garam di laut, bertemu di belanga'.


BAHARI NUSANTARAdang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta
1






Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)

Bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir/pantai. Bila disandingkan dan disejajarkan dengan arus utama pembangunan berwawasan daratan, maka akan terjadi perbedaan titik tolak pemikiran dan argumentasi dalam menilai jagad bahari kita. Padahal warisan budaya pesisir kita telah meninggikan derajat kebudayaan masyarakat Indonesia, dengan demikian keterlibatan masyarakat pesisir/pantai dalam perlindungan dan revitalisasi budaya haruslah diberikan peran sederajat dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Selain itu, adanya paradigma dan persepsi bahwa lautan belum menjadi sumber potensial pembangunan masyarakat, menyebabkan pembangunan nasional kita masih berorientasi daratan (land based development).

Bangsa Indonesia menempatkan bahari sebagai bagian terpenting dari “makna tanah air Indonesia”. Memang menelaah dunia bahari adalah suatu cara mengabadikan dan menghormati keberanian pelaut-pelaut ulung dan seniman-budayawan pesisir pantai yang “mendamparkan” dirinya pada kreativitas untuk membangkitkan keyakinan dirinya dan masyarakatnya bahwa “dari buih-buih gelombang lautan kehidupan” dapat pula terlahir jiwa pejuang kehidupan di bidang kebudayaan dan pariwisata. Untuk itu kami menyambut baik sekaligus menyampaikan apresiasi atas terlaksananya program Staf Ahli Menteri Bidang Pranata Sosial yang telah menelaah “Dinamika Pranata Sosial terhadap Kearifan Lokal Masyarakat Pantai: Melestarikan Budaya Bahari dalam Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata”.


Peranan air sangat vital bagi semua mahluk hidup, tidak terkecuali bagi kehidupan manusia. Oleh sebab itu, kecenderungan pola pemukiman manusia selalu mengutamakan faktor keberadaan dan ketersediaan sumber air. Tidaklah mengherankan jika pembangunan pemukiman selalu dimulai dari daerah tepi sungai atau laut, di samping untuk jaminan ketersediaan kebutuhan air minum juga untuk kemudahan sarana perhubungan dan transportasi. Pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan Nusantara, armada kelautan juga mempunyai peranan penting sebagai penunjang kemampuan ekspansi kekuasaan maupun hubungan perdagangan antar pulau dan antarkerajaan. Bahkan dalam masa keemasan kerajaan Gowa, Majapahit dan Sriwijaya telah mengukir prestasi sebagai predikat bangsa bahari, dengan keahlian melayarkan perahu/kapal ke samudera luas, teknik pembuatan perahu, pengetahuan astronomi dan pembacaan tanda-tanda alam untuk mencari ikan atau berlayar ke pulau-pulau yang jauh. Kearifan local yang berkaitan dengan budaya bahari pun tumbuh subur dengan ritual-ritual keseharian yang diyakini sebagai medium untuk menjaga keseimbangan antara penguasa laut dengan masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada laut.

Proses pewarisan kearifan lokal tentang budaya bahari antar generasi berlangsung secara alamiah. Sayangnya, sebagai negara maritim dan kepulauan terbesar di dunia yang memiliki wilayah laut seluas 7,9 juta km2 yang mempersatukan 17.000 lebih pulau, dengan potensi sumber daya kelautan dan jasa-jasa lingkungan yang sangat besar hingga kini belum dimanfaatkan secara optimal. Sejak zaman kolonial hingga sekarang, orientasi pembangunan kita masih terfokus pada daratan, sementara laut hanya diperlukan sebagai tempat eksploitasi sumber daya alam secara ekstraktif, pembuangan limbah industri dan rumah tangga serta berlangsungnya berbagai kegiatan illegal. Boleh jadi pola pembangunan yang berbasis daratan itulah yang menjadi salah satu penyebab kurang efisiensinya pembangunan ekonomi kita selama ini. Artinya kita belum memanfaatkan fakta sejarah dan geografis sebagai Negara maritim dan kepulauan terbesar dengan potensi ekonomi kelautan yang dapat diibaratkan sebagai

'raksasa yang tertidur'. Padahal, budaya laut yang begitu besar tentunya dapat mengilhami nilai-nilai filosofi tentang semangat kegigihan dan pantang menyerah, keuletan dalam bekerja, pelestarian lingkungan, di samping keahlian membuat perahu layar serta membaca tanda-tanda alam. Akibatnya, masyarakat pantai/pesisir seolah terbiarkan secara kondisional dalam kemiskinan struktural, dan kearifan budayanya semakin terkikis dengan perkembangan yang ada. Kondisi yang memprihatinkan ini tentunya merupakan permasalahan yang perlu dicarikan solusinya, antara lain melalui telaahan yang merupakan program kerja Staf Ahli Menteri Bidang Pranata Sosial, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2011.

airan Wakatobi (Surya Yuga)
Pendasaran Kearifan Lokal bagi Dinamika Pranata Sosial dalam Meniti Semangat Zaman

Tentang Negara Kepulauan, Benua Maritim dan Bangsa Pelaut

idak ada yang membantah bahwa Indonesia adalah sebuah Tnegara kepulauan, yakni entitas darat berisi pulau-pulau yang tersambungkan satu sama lain oleh laut dalam, perairan dangkal, teluk dan selat serta danau-danau. Yang di dalamnya terdapat Kalimantan, Papua, Sumatera, Sulawesi dan Jawa sebagai lima pulau besar. Yang di dalamnya terdapat pulau Nias, Siberut, Bangka, Belitung, Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Buru, Halmahera, Selayar, Tual, Alor dan ribuan lainnya. Yang di dalamnya lagi terdapat gugus kepulauan Aru, Tanimbar, Sula serta puluhan ribu pulau kecil yang berpenghuni maupun tidak berpenghuni dan yang bernama maupun yang belum bernama. Yang ada adalah pulau-daratan, lalu laut-perairan menyambungkannya satu sama lain, lalu menjelmakannya menjadi Nusantara. Tidak ada yang membantah bahwa Indonesia adalah sebuah benua maritim, yakni entitas laut–perairan yang di dalamnya tertaburi oleh pulau besar, sedang dan kecil serta gunung-gunung berapi yang letusannya dahsyat. Yang di dalamnya terhampar Laut Jawa, Banda, Arafura, Sulawesi, Maluku dan Sulu beserta teluk dan selatnya, membentang antara Samudera Pasifik hingga Samudera Hindia. Yang di dalamnya terbujurkan garis pantai sepanjang 81.000 km, luas perairan 5,8 juta kilometer persegi, serta kedalaman laut yang tak terkirakan. Yang ada adalah laut-perairan, lalu gunung dan pulau sambungmenyambung mengisinya, dan menjelmakannya menjadi Nusantara.

Tetapi apakah tidak terbantahkan bahwa bangsa Indonesia saat ini bukan bangsa pelaut? Bahwa perekonomian bangsa Indonesia lebih banyak mengandalkan sumberdayanya dari eksistensi sebagai Negara kepulauan dibanding sebagai benua maritim? Bahwa budaya bangsa Indonesia lebih banyak mengembangkan tradisi tani-feodal disbanding tradisi maritim-bahari? Bahwa bangsa Indonesia lebih banyak mengandalkan masyarakat agraris-kota dibanding masyarakat baharipesisir? Bahwa kampus dan lembaga penelitian bangsa Indonesia lebih banyak mengkaji dan mengembangkan pengetahuan terkait daratan dibanding lautan? Bahwa dunia ketentaraan dan kepolisian bangsa Indonesia lebih kuat dalam pengamanan di darat dibanding pengamanan di laut? Bahwa golongan masyarakat yang paling minim merasakan pelayanan pendidikan, kesehatan, air bersih dan infrastruktur lebih dominan adanya di pesisir dan pulau-pulau kecil dibanding mereka yang di daratan pulau-pulau besar? Bahwa pariwisata Indonesia berkembang lebih mengandalkan destinasi darat dibanding destinasi perairan? Masa kecil kita memang sering mendengarkan lagu yang mengisahkan bahwa nenek-moyang kita seorang pelaut. Dongengdongeng pengantar tidur juga banyak berkisah tentang tokoh-tokoh yang berhubungan dengan laut: di tanah Melayu ada kisah tentang si Malin Kundang yang terkutuk menjadi batu karena durhaka setelah kaya dalam pelayaran lalu lupalah akan bundanya; di tanah Sunda ada kisah tentang Sangkuriang yang marah cintanya ditolak karena sang terkasih ternyata bundanya sendiri sehingga perahu yang dibuat untuk persembahan cinta diobrak-abriknya hingga membentuk Gunung


Tangkuban Perahu; di tanah Bugis dikenal kisah Sawerigading yang
membuat perahu I Lawarlenreng untuk menemui Putri We Cudai setelah
terketahui bahwa We Tenri Abeng yang dicinta ternyata saudaranya
sendiri, dan dalam perjalanan pulang perahu tersebut terhempas ombak
lalu kandas terbelintang patah karena konon melanggar sumpah sendiri
sebelum berlayar; di tanah Bali dan Jawa berkembang cerita tentang
Panji yang tergambarkan sebagai tokoh dalam kemajuan pramodern
masyarakat pesisir (Vickers, 2009).

Buku-buku sejarah memang banyak berkisah tentang peradaban
bahari bangsa Indonesia di masa lalu. Dikisahkan bahwa berbagai
pemukiman pantai di Nusantara pernah menjelma sebagai bandar yang
diperhitungkan dalam pelayaran dan perniagaan dunia, Banten yang
kejayaannya kemudian digantikan Batavia; Demak yang kejayaannya
kemudian digantikan Semarang; Gresik yang kejayaannya kemudian
digantikan Surabaya; Gowa yang kejayaannya kemudian digantikan
Makassar. Dikisahkan pula betapa ulungnya para pelaut Nusantara
mengarungi samudera (Dick-Read, 2005); ada yang menjadi saudagar
kaya raya memperniagakan berbagai hasil bumi, barang kerajinan, serta
emas dan logam; ada yang menjadi pedagang budak dan perompak
gagah berani menakutkan kawan dan lawan; ada pula yang menjadi
petualang mendatangi dan membuka daerah baru serta menyebarkan
syiar agama.
Artinya, di masa lalu bangsa dan nenek moyang kita memang
menumpukan peradabannya di atas pendasaran budaya pesisir dan
bahari. Di masa lalu bangsa dan nenek moyang kita memang telah
mengembangkan keunggulan berdasarkan potensi yang dimunculkan
oleh hamparan laut dan isinya. Lalu mengapa pada masa kini kita bukan
lagi bangsa pelaut, bukan lagi bangsa yang mengembangkan kejayaan
berdasarkan budaya bahari? Selanjutnya, kalaupun saat ini kita bukan
lagi bangsa pelaut, bukan lagi masyarakat yang mengandalkan budaya
bahari, pelajaran apa yang bisa dimaknai dan ditransformasikan dari
jagad bahari masa lalu tersebut?
Setelah uraian pendahuluan ini, tulisan ini hendak menguraikan
mengapa bangsa kita semakin mendasarkan peradabannya pada daratan
dan tani ketika jaman pembangunan mengisi kemerdekaan. Setelah itu,
dicoba rekonstruksi transisi berkepanjangan yang dialami peradaban
bahari/maritim kita pada jaman pembangunan tersebut, dengan
mendalami sebuah setting budaya bahari di Indonesia yakni Tanjung Bira di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, di mana terdapat
kasus komunitas pembuat perahu, pelayar niaga dan penangkap ikan.
Tulisan ini kemudian merefleksikan poin-poin spirit, nilai-nilai dan
kearifan lokal yang bisa dipetik dari pemahaman mendalam atas
dinamika komunitas maritim tersebut, lalu pada bagian terakhir
diidentifikasi sejumlah agenda struktural dan kultural yang dapat
didorong guna mengaruskan Jagad Bahari Nusantara dalam wacana,
kebijakan maupun praktek perubahan berencana ataupun perubahan
alamiah di tanah air.

Keterpinggiran Bahari karena Arus Tani Pembangunan

ejarah menunjukkan bahwa Jagad Bahari Nusantara mengalami Sperkembangan justeru sebelum memasuki alam kemerdekaan.
Perdagangan bebas rempah-rempah dan hasil bumi lainnya yang
melibatkan orang Portugis, Belanda, Arab dan India telah meramaikan
bandar-bandar di Nusantara sebelum penjajahan, dan karena daya tarik
rempah-rempah itu pula persatuan dagang VOC dari Belanda berubah
diri menjadi penjajah, lalu memonopoli perdagangan tersebut.

Perkebunan tembakau, tebu dan teh yang kemudian dikembangkan
penjajah Belanda tidak lagi meramaikan pelayaran niaga Nusantara
melainkan langsung diangkut ke negeri Belanda.
Setelah Indonesia merdeka, apalagi pada era pembangunan dalam
pemerintahan Soeharto, orientasi lebih ditekankan untuk memenuhi
kebutuhan pangan, dan karena itu pembangunan pertanian menjadi
prioritas. Pada era ini didorong revolusi hijau dengan fokus utama
mengubah pertanian tradisional menjadi pertanian modern melalui
penggunaan bibit unggul, penggunaan pupuk sintetis, aplikasi pestisida
untuk pengendalian hama, perbaikan teknik agronomi dan
pembangunan irigasi. Modernisasi pertanian ini berhasil meningkatkan
produksi padi sawah untuk swasembada bangsa, tetapi tidak berhasil
menggairahkan perdagangan beras berhubung produksi tersebut
dikumpulkan dan diredistribusi oleh lembaga bernama Bulog (Badan
Urusan Logistik) demi mengamankan cadangan pangan nasional.
Dengan tidak bergairahnya perdagangan beras, revolusi hijau tidak
berdampak pada dinamika perniagaan beras di Nusantara. Berbeda pada
saat produksi rempah berjaya, ia berdampak pada kegairahan di laut
karena terdistribusi melalui perdagangan bebas saat itu.
Selain tidak berdampak pada kegairahan pelayaran niaga di
Nusantara, dengan revolusi hijau, budaya tani semakin menjelma
sebagai basis peradaban Nusantara. Nusantara dominan berisi manusiamanusia
tani, pencocok tanam yang dimanjakan oleh alam subur dan
adopsi teknologi, yang hidup dalam kosmos harmoni dan statika alam
pedesaan. Nusantara yang berisi manusia-manusia maritim, pelayar
niaga yang senantiasa ditantang oleh kerasnya ombak dan horizon laut
tak berbatas, semakin lama semakin redup. Artinya, secara budaya
revolusi hijau menguatkan budaya tani, di sisi lain budaya maritim
semakin redup. Meminjam konsepsi Redfield (1956), budaya tani
tampil sebagai tradisi agung (great tradition), budaya maritim
terpinggirkan menjadi budaya kecil (little tradition).
Rezim pembangunan pernah memberikan perhatian kepada
sumberdaya laut melalui modernisasi penangkapan dalam bentuk
adopsi teknis alat tangkap modern didukung pengembangan lembaga
KUD-Mina pada 1980-an, tetapi intensitasnya tidak sampai pada level
revolusi biru sehingga efeknya pada peningkatan produksi tidak
signifikan, dan dampaknya tidak mendorong perkembangan budaya
maritim serta peradaban pesisir. Begitupun ketika Departemen Kelautan
dan Perikanan telah terbentuk pada 2000-an, revolusi biru tidak berhasil
didorong dan gairah perdagangan antar pulau, kebangkitan pelaut
Nusantara, pembuatan perahu dan kapal, peradaban pesisir dan kota
maritim, eksplorasi potensi kelautan, serta ketercukupan saranaprasarana
pulau dan antar pulau, sebagai narasi besar Jagad Bahari
Nusantara, tetap belum signifikan terakselerasi.
Ketertinggalan narasi besar pilar Jagad Bahari Nusantara, karena
perubahan terencana yang lebih memilih arus utama tani dan darat
tersebut, selanjutnya diikuti oleh ketertinggalan narasi kecil pendukung
jagad bahari Nusantara. Salah satu narasi kecil itu adalah peradaban
sungai. Di Banjarmasin, Kalimantan Selatan misalnya, di mana
peradaban sungai dalam bentuk pasar terapung telah berkembang sejak
1526 saat Kerajaan Banjar berdiri, karena pembangunan yang
berorientasi darat, maka saat ini mengalami kemunduran drastis. Pada
1991, jumlah moda transportasi sungai kategori pelayaran lokal
mencapai 1.136 buah, pelayaran rakyat 1.247 buah dan kapal lokal 1.136
buah. Pada 2009, pelayaran lokal dan kapal lokal sudah tidak ada lagi,
hanya terdapat 416 buah perahu kelotok, 54 buah perahu getek, dan 28
buah speedboat. (“Pasar Terapung: Membangun Jalan, Melupakan
Peradaban”, Kompas, 7 Mei 2011). Pada 1960-an, Banjarmasin masih
bergantung pada transportasi air melalui dua sungai besar yakni Barito
dan Martapura, serta 400 sungai kecil yang melintasi berbagai pelosok.
Saat ini, jumlah sungai yang bisa dilewati transportasi air hanya sekitar
100 buah, sebagian besarnya tertutup oleh bangunan jembatan dan beton
rumah. Ini berbanding terbalik dengan kemajuan moda transportasi
darat. Pada 1991, panjang jalan hanya 205,07 km, 193,29 km
diantaranya sudah beraspal. Pada 2009, total panjang jalan di
Banjarmasin tercatat 458,391 km, terdiri dari 425,726 km jalan beraspal,
8,139 jalan kerikil, dan 24,526 km jalan tanah. Ini bertambah seiring
dengan kendaraan darat, sepeda motor misalnya pada 1991 hanya
47.564 buah dan mobil hanya 14.818 buah; pada 2009 sepeda motor
menjadi 259.778 buah dan mobil menjadi 55.280 buah (“Pasar
Terapung: Membangun Jalan, Melupakan Peradaban”, Kompas, 7 Mei
2011).

Peradaban sungai di Banjarmasin bukan hanya terkait moda
transportasi tetapi juga aktivitas ekonomi dalam bentuk pasar terapung.
Perahu tradisional kecil menggunakan dayung dengan penerangan
lampu minyak dan perahu bermesin dengan menggunakan bohlam, hilir-mudik berayun ombak menjalankan transaksi pisang, jeruk siam
banjar, berbagai jenis sayuran serta beras dan ikan, baik menggunakan
uang maupun dengan barter, sambil saling menyapa dan tafsir simbolis
mengiringi interaksi sosial antar perahu. Tetapi, jumlah orang yang
terlibat pasar terapung itu konon makin berkurang, bila 20 tahun lalu di
Muara Kuin misalnya terlibat sekitar 200 pedagang, saat ini hanya
sekitar 85 orang. Makin lama orang makin lebih suka bertransaksi di
pasar darat dan mall yang praktis dan bersih. Kalau dulu pembeli di pasar
terapung kebanyakan untuk keperluan dapur, sekarang pembelinya lebih
banyak pedagang yang akan mengecerkan barang-barang tersebut di
perumahan atau mendagangkannya lagi di pasar-pasar darat (“Tanah
Air: Pembangunan di Darat Menggusur Pasar Terapung”, Kompas, 7
Mei 2011). Artinya, pasar terapung kini lebih berfungsi mendukung
perkembangan pasar di darat dibanding mengembangkan peradaban
sungai itu sendiri.
Berbagai narasi kecil lain dari Jagad Bahari Nusantara dapat
direkonstruksi ketertinggalan dan keterpinggirannya karena arus utama
pembangunan. Bayangkanlah bagaimana orang Bajoe yang tersebar di
berbagai daerah Nusantara khususnya di Kawasan Timur Indonesia;
dengan pengetahuan lokal dan adaptasi ekologinya kepada laut dapat
berenang-menyelam melebihi kemampuan ikan; hidup sehari-hari
membangun komunitas di atas air dan bibir pantai, merangkai dendang
dan cerita dengan isi tentang laut, air, pasir dan ikan; dan dengan itu
menegakkan identitasnya di tengah tuntutan untuk berintegrasi dengan
lingkungan sosial terdekat ataupun dengan negara-bangsa Indonesia
yang menaunginya. Tetapi bagaimana arus utama pembangunan
menempatkan eksistensi mereka? Mengapa misalnya pasukan katak di
ketentaraan tidak terdapat orang Bajoe yang justeru kekuatan paruparunya
untuk bertahan dalam air melebihi seekor katak? Mengapa
misalnya pendidikan formal kurang menjangkau atau sulit dijangkau
mereka?
Atau bayangkanlah orang Lamalera di Nusa Tenggara Timur.
Bagaimana mereka mengembangkan pengetahuan dan ketangkasan
lokal menangkap ikan paus dalam kelompok berperahu menggunakan
tombak; sambil dengan itu menyuarakan lagu-lagu pembangkit
semangat dan keberanian menerjang ombak lalu menikam bagian
tertentu dari tubuh seekor ikan paus; lalu ketika ritual penangkapan yang
heroik itu terselesaikan maka termanifestasikan ikatan setia kawan,
JAGAD BAHARI NUSANTARA
8
keadilan berbagi, penghargaan kepada alam, dan penghormatan kepada
tetua komunitas melalui pembagian daging tangkapan. Tetapi
bagaimana arus utama pembangunan menempatkan eksistensi mereka?
Sampai di mana ketangkasan penangkapan ikan menggunakan tombak
orang Lamalera ini diapresiasi sebagai teknologi asli yang lahir dari
kekayaan budaya bahari Nusantara? Bagaimana sikap negara terkait
kecakapan lokal tersebut? Apakah dimodernisasikan secara teknologis
maupun keorganisasian untuk merespons tuntutan perubahan, ataukah
didukung keasliannya sehingga menjadi pilar bagi identitas budaya
Nusantara?
Demikianlah, arus tani-darat pembangunan telah berhasil mengantar
Indonesia berswasembada pangan, telah mentransformasikan sebagian
besar manusia Indonesia dari alam feodal-tradisional ke alam
kapitalisme-modern, telah mengakselerasi perkembangan kota-industri
menuju peradaban global. Tetapi demikianlah pula potensi ikan dan laut
terbengkalai bahkan tercuri oleh bangsa lain, masyarakat pesisir dan
pulau kecil terperangkap dalam derita kemiskinan dan keterbatasan
fasilitas publik, lalu peradaban pesisir tertinggal terpinggirkan. Kita
harus sampai pada pengakuan bahwa ketertinggalan dan keterpinggiran
Jagad Bahari Nusantara sebagian besarnya disebabkan oleh perubahan
Perahu di Relief Candi Borobudur (Madio SK)

terencana pada era pembangunan yang lebih mengarusutamakan tani
dan darat.


Jagad Tiga:
Ketertinggalan Bahari
Karena Kegagalan Transisi Sosio-Kultural
etapi apakah derita ketertinggalan dan keterpinggiran itu Tsepenuhnya karena salah negara mengelola perubahan
terencana? Mengapakah di balik pengarusutamaan tani dan darat dalam
pembangunan, aktor dan struktur jagad bahari sendiri tidak
bertransformasi secara struktural dan kultural, sehingga dengan
perubahan alamiah dapat mempersembahkan puncak-puncak kejayaan
budaya bahari? Bagaimana sebenarnya gambaran transformasi sosiokultural
berbagai komunitas maritim Nusantara dalam fase
pembangunan selama ini? Berikut ini diuraikan perjalanan transformasi
sosio-kultural komunitas maritim orang Konjo pesisir Tanjung Bira di
Kabupaten Bulukumba, yakni komunitas pandai perahu di Tanaberu dan
Ara dan pelayar niaga di Bira (Bontobahari).
Ara dan Tanaberu adalah lokalitas pembuat perahu utama di
Sulawesi Selatan bahkan Nusantara. Orang Ara sejak 1900-an tersebar
di Nusantara membuat perahu layar hingga perahu bermesin. Sementara
orang Tanaberu lebih terkonsentrasi pada pembuatan perahu di
pantainya, pembuatan perahu di tempat ini berkembang pesat sejak
pembeli luar negeri meminati pinisi tradisional pasca Pameran Pinisi
Nusantara 1989 di Vancouver (Caro, 1988) dan dilanjutkan dengan
pelayaran pinisi Ammana Gappa (Edwin, 1991).
Konon, dahulu terdapat pembagian kerja antara orang Ara, Bira dan
Tanaberu dalam urusan perahu. Orang Ara menekuni pembuatan
perahu, orang Bira menekuni pelayaran, orang Tanaberu sebagai
pemilik barang yang dilayarkan. Konon pula, ini adalah konstruksi
sosial yang termanifestasikan dari mitos Sawerigading, bahwa ketika ia
melanggar sumpah untuk tidak pulang ke tanah Luwu, pelayaran pulang
itu bertemu badai hingga perahunya hancur berkeping-keping. Lunas
terdampar di pantai Ara (dan memberi keahlian membuat perahu), badan
perahu terdampar di pantai Tanaberu (dan memberi keahlian sebagai
saudagar pemilik muatan), tiang layar terdampar di pantai Bira (dan
memberi keahlian sebagai nakhoda pelayaran).
JAGAD BAHARI NUSANTARA
10
Perahu pinisi mencapai puncak kejayaan pelayaran niaga hingga
1970-an, setelah itu berlaku aturan pelayaran yang mengharuskan
navigasi modern, lalu penggunaan mesin menggantikan fungsi layar.
Pemodal niaga di Tanaberu dan Bira pelan-pelan mundur karena
kemampuan modal terbatas untuk pembelian mesin, sehingga
memasuki 1990-an tidak ada lagi saudagar pemilik muatan dari
Tanaberu dan Bira, pelayar Bira beralih melayani juragan Cina yang
mampu permodalan, begitu pula pandai perahu dari Ara membuat
perahu pinisi bermesin untuk pembeli Cina tersebut. Maka berakhirlah
dinamika dan romantika pembuatan perahu dan pelayaran niaga
Bontobahari, Bira dan Tanaberu sepi dari hiruk pikuk pelayaran.
Kematian tradisi pelayaran ini tidak diikuti kematian tradisi
pembuatan perahu. Pembeli luar negeri berdatangan memesan perahu
tradisional yang dipasangi mesin sehingga bantilang (lahan dan
perlengkapan pembuatan perahu) di Tanaberu tetap ramai, sementara
pembuatan perahu untuk juragan Cina tetap intensif sehingga orang Ara
bermigrasi mengikuti persebaran lokasi itu. Dengan latar itulah
Tanaberu mempertahankan tradisi bahari sebagai lokasi pembuatan
perahu, berbeda dengan orang Bira yang sejak 1990-an kehilangan
tradisi pelayarannya.
Bagaimana komunitas pembuat perahu mempertahankan
eksistensinya? Mereka telah menjalankan adaptasi teknologi dan
organisasi produksi dalam merespons tuntutan perubahan yang
dikehendaki pasar. Penguasaan atas konstruksi perahu yang
memungkinkan dipasangi mesin, lambung perahu yang dilengkapi
ruang makan dan tidur serta sound system demi kesenangan pelesir
pemiliknya, dan penggunaan alat/bahan kerja yang makin canggih dan
kompleks, mereka pelajari secara otodidak dan mengadaptasinya sesuai
tuntutan konsumen. Pembagian kerja dalam komunitas demi
tercapainya efisiensi dan efektivitas, perubahan norma perekrutan,
pembagian kerja dan pembagian hasil, secara gradual mereka perbaiki.
Pengaruh magis dan mitos dalam teknis pembuatan dan hubungan sosial
produksi mereka rasionalkan dan menggantinya dengan prinsip legal
dan kalkulatif. Begitu pula struktur sosial didorong berdiferensiasi
seiring lahirnya fungsi baru yang menuntut lembaga baru,
bertambahnya fungsi yang dijalankan sebuah lembaga, ataupun
terjadinya disfungsi atas lembaga yang ada.
Secara sosiologis-antropologis, diferensiasi sosial dan rasionalisasi
JAGAD BAHARI NUSANTARA
11
tindakan telah berlangsung pada komunitas pembuat perahu, tetapi itu
belum cukup untuk mentransformasikannya menjadi masyarakat
industri dengan teknologi yang memungkinkannya menghasilkan
perahu lebih modern ataupun kapal lebih canggih. Diferensiasi sosial
dan rasionalisasi tindakan yang berlangsung hanya cukup guna
membuat mereka bertahan untuk tidak bergilas oleh perubahan dan
belum cukup untuk melampaui perubahan itu sendiri. Inilah yang
menjadikannya tidak menjelma sebagai peradaban besar, ia hanya
bertahan sebagai teknostruktur yang “mati enggan, hidup tak mau”.
Ketika perkembangan teknostruktur pembuatan perahu tidak
melampaui tuntutan zaman, peradaban pengguna perahu juga tertinggal
spirit zaman. Maka penangkapan ikan Nusantara tidak menjelmakan
perdagangan ikan skala besar, tidak pula mewujudkan pabrik
pengolahan ikan. Transformasinya tertahan pada tahap transisi. Lihat
misalnya komunitas penangkap ikan di Kajang (Kassi), Bulukumba.
Komunitas ini bertransformasi dari nelayan pancing menjadi nelayan
bagan dan akhirnya nelayan gae, tetapi kemajuan ini tidak meloncat
lebih jauh untuk lahirnya industri pengolahan, sehingga dampak
perdagangan ikan yang didorong hanya skala lokal dan daerah, tidak
berekspansi ke pasar nasional apalagi global. Hal ini dikarenakan
kekuatan mesin perahu tangkapnya belum mampu menjangkau laut
dalam, dan karena perlengkapan teknologi pencarian lokasi ikan dan
penangkapan canggih belum dikuasai. Pelayaran niaga pelaut Nusantara
yang mengalami stagnasi, diikuti oleh penangkapan ikan yang gagal
bertransformasi pula.
Artinya, bukan cuma arus utama tani dan darat dari pembangunan
sebagai perubahan terencana yang harus dituding sebagai penyebab
ketertinggalan budaya bahari Nusantara. Energi dari dalam komunitas
bahari itu sendiri mengidap kelemahan sehingga perubahan alamiah
Pembuatan Perahu di Desa Ara, Bontobahari, Bulukumba, Sulawesi Selatan (Surya Yuga)
JAGAD BAHARI NUSANTARA
12
yang didorongnya tidak cukup untuk melewati tuntutan zamannya,
bahkan sebagian darinya tertinggal oleh spirit zamannya.
Jagad Empat:
Sintesa Pengetahuan untuk Pranata
Sesuai Spirit Zaman
ari uraian sebelumnya dua poin penting dapat dirumuskan. DPertama, bahwa perubahan terencana di Indonesia telah
berhasil memodernkan jagad tani dan darat melalui aplikasi
pengetahuan ilmiah serta teknologi turunannya, di mana bahari dan laut
tidak menjadi arus utama modernisasi tersebut sehingga tertinggal
terpinggirkan. Kedua, bahwa sebelum Indonesia menjalankan
perubahan terencana, Jagad Bahari Nusantara pernah berkembang
melampaui spirit zamannya, dengan berbasis pada pengetahuan dan
teknologi asli yang tertanam dalam pranata masyarakat, tetapi kemudian
tidak mampu mentransformasikan diri merespons spirit zaman yang
menuntut aplikasi pengetahuan ilmiah dan loncatan teknologi.
Karena itu, tantangan ke depan Jagad Bahari Nusantara adalah
mengakselerasi perubahan terencana yang mensinergikan pengetahuan
asli yang sudah tertanam dalam pranata sosial bahari Nusantara dengan
pengetahuan ilmiah yang diadopsikan ke dalam pranata sosial bahari
tersebut. Diperlukan metode perubahan sosial yang mensinergikan
rekayasa sosial (social engineering) dengan pembelajaran sosial (social
learning) dalam suatu agenda pelembagaan pengetahuan holistik Jagad
Bahari Nusantara.
Pelembagaan pengetahuan holistik ini menyatukan rekayasa sosial
yang berbasis pengetahuan ilmiah, untuk menjangkaukan komunitas
bahari kepada perkembangan pengetahuan dan teknologi globalmodern,
dengan pembelajaran sosial yang berbasis pengetahuan dan
teknologi asli, untuk membumikan komunitas bahari pada dasar pranata
lokalnya. Penekanannya adalah interkoneksitas dua sistem
pengetahuan: lokal-asli-tradisional dengan global-adopsi-modern, yang
dengan itulah akselerasi inovasi pada teknostruktur bahari lokalitas
Nusantara ditransformasikan menjadi peradaban bahari nasionalitas
Indonesia, yang tidak hanya bisa mengejar tetapi juga bisa meloncati
spirit zamannya.
JAGAD BAHARI NUSANTARA
13
Agenda ini memiliki pendasaran pada dinamika beberapa kasus
Jagad Bahari Nusantara. Berikut ini adalah perubahan rasionalitas
seorang punggawa pembuat perahu dalam resolusi konflik yang sadar
bahwa aplikasi pengetahuan magis tidak relevan lagi dengan spirit
zaman yang menuntut aplikasi pengetahuan positivistik, setelah
menginterpretasi kisah romantis aplikasi magis di masa lalu dan
menghubungkannya dengan spirit zamannya.
Saya mendengar langsung cerita ini dari seorang punggawa
bernama DM (almarhum). Kejadiannya berlangsung di Pare-Pare
1950-an. Menurut DM, sumber konflik waktu itu adalah masalah upah.
Perahu sudah selesai, sambalu tidak mau membayar upah sepenuhnya,
bahkan mengingkari nilai upah yang disepakati. Karena enggan
berdebat, DM melampiaskan kekecewaannya dengan menggunakan
kekuatan magis. Sebelum perahu diluncurkan, ia pergi ke depan perahu
menancapkan pa’panelang (sejenis bor) yang digunakan memotong
lunas, lalu meniatkan bahwa hanya sampai di situlah lunas perahu bisa
bergerak. Sambalunya ternyata orang keras hati juga. Ia bersumpah
bahwa perahu itu harus sampai ke laut, menyentuh air. Setelah didorong
selama tujuh hari oleh penduduk setempat, perahu tidak bergerak juga.
Sambalu lalu mengerahkan mobil truk untuk menambah tenaga.
Akibatnya, badan perahu bisa menyentuh air, tetapi lunasnya tertahan
tetap terbenam di tepi pantai. Cerita ini terkenal di kalangan pembuat
perahu dengan skor 1:1. Hajat punggawa dan sambalu sama-sama
terpenuhi, yakni lunas tertahan pada titik yang diniatkan (punggawa),
dan perahu menyentuh air (sambalu), tetapi bagaimanapun kerugian
lebih banyak diderita sambalu. Sebagai punggawa, sekarang ini saya
tidak pernah menggunakan ilmu (magis) seperti itu, meskipun saya
juga menguasainya. Rasanya berdosa merusak barang kepunyaan
orang meskipun kita yang membuatnya. Lagi pula kalau ada
perselisihan dengan sambalu bisa kita ajukan ke pemerintah atau
pengadilan. (Wawancara dengan punggawa bernama S tahun 1992 di
Desa Ara, Bulukumba).
Cerita di atas menunjukkan bagaimana pengetahuan asli-tradisional
(aplikasi magis dalam sengketa) pada pranata lama tersadari bahwa
kurang relevan lagi dengan pranata baru sehingga perlu
dikomplementasikan dengan pengetahuan positivistik (aplikasi hukum
positif dalam sengketa) yang diadopsi dari pranata modern. Artinya,
dalam berbagai praksis jagad bahari sudah terdapat kesadaran dan
rasionalitas untuk membumikan pengetahuan global-ilmiah kedalam
JAGAD BAHARI NUSANTARA
14
khazanah pengetahuan lokal-asli. Bila kecenderungan seperti ini makin
intensif, maka kita akan dapat merayakan pelembagaan pengetahuan
positivistik-ilmiah dalam pranata lokal Jagad Bahari Nusantara. Namun
demikian, kita juga bisa menemukan keengganan pengetahuan
positivistik-ilmiah untuk menerima dan melembagakan pengetahuan
lokal-asli dalam pranata modernnya. Berikut ini adalah cerita tentang
ketidakterterimaan promosi kearifan lokal oleh rasionalitas pengguna